Beranda | Artikel
Bermakmum Di Belakang Pelaku Kesyirikan
Senin, 3 Mei 2004

BERMAKMUM DI BELAKANG PELAKU KESYIRIKAN

Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta

Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Seorang khatib masjid di salah satu desa di daerah kami tinggal adalah seorang sufi dari tarekat Sadziliyah -begitu mereka menyebut kelompok mereka-. Orang ini mengajak dan mengajar masyarakat untuk bertawassul dengan makhluk Allah, seperti para nabi dan para wali. Dia mengajak orang-orang untuk menziarahi pekuburan. Dia membolehkan bersumpah dengan nama nabi dan wali, dan ada kafarah (denda) jika melanggarnya. Kami, sebuah jama’ah dari jamaah kaum muslimin, telah mengajaknya berdiskusi tentang kesalahan yang dikerjakan dan diajarkan. Namun, ia selalu berkilah dan berdalil dengan hadits-hadits dhaif (lemah) dan maudhu (palsu). Bolehkah kami bermakmum di belakang orang ini berhubung kami belum merampungkan pembangunan masjid kami ? Kami telah berusaha mengumpulkan infaq dan shadaqah, tetapi sampai sekarang belum selesai juga. Kami mengharap fatwa Anda atas pertanyaan kami ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kita semua taufikNya. Selain itu, mereka juga mengkafirkan para masyaikh, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, semoga Allah merahamati keduanya.

Jawaban.
Ber-istighatsah kepada orang-orang yang telah meninggal, berdo’a kepada mereka saja tanpa berdo’a kepada Allah atau juga berdo’a kepada Allah, adalah syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Sama saja baik yang diminta itu nabi ataupun bukan nabi. Begitu pula, berdo’a kepada (orang yang masih hidup tetapi) tidak hadir (tidak di tempat) adalah syirik besar, mengeluarkan pelakunya dari Islam -kita berlindung kepada Allah darinya-.

Tidak sah shalat dibelakang mereka disebabkan kesyirikan mereka. Adapun orang yang ber-istighatsah hanya kepada Allah saja dengan cara bertawassul menggunakan kedudukan orang-orang yang telah meninggal itu, atau berkeliling di kubur mereka dengan tidak meyakini bahwa mereka dapat memberi pengaruh, tetapi hanya berharap kalau kedudukan mereka di sisi Allah akan menjadi sebab dikabulkannya doa, maka dia adalah seorang mubtadi (pelaku bid’ah). Dia berdosa karena menggunakan wasilah atau cara yang syirik. Dikhawatirkan cara itu dapat menggiringnya kepada syirik besar.

Kami memohon kepada Allah agar menolong kalian untuk dapat menyebarkan tauhid ini dan membela kebenaran serta memerangi para pelaku bida’ah.

Shalawat serta salam semoga tercurah atas Nabi, keluarga, dan sahabat-sahabatnya.

[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah 1/105-106, Fatwa no. 4154 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 3/I/Dzulqa’dah 1423H Hal. 8]

TINGGAL DI LINGKUNGAN PELAKU KESYIRIKAN

Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta

Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Seorang laki-laki tingal di lingkungan suatu jamaah yang suka ber-istighatsah kepada selain Allah. Bolehkan dia shalat (menjadi makmum) di belakang mereka. Wajibkah dia hijrah dari mereka ? Apakah kesyirikan mereka termasuk syirik besar ? Dan apakah ber-wala kepada mereka sama seperti ber-wala kepada orang kafir yang sesungguhnya ?

Jawaban.
Jika jamaah yang Anda tinggal bersama mereka itu keadaannya memang seperti yang anda ceritakan, yaitu ber-istighatsah kepada selain Allah, baik kepada orang-orang yang telah meninggal, orang yang tidak hadir (tidak ada bersamanya), pohon, batu, bintang-bintang, dan selainnya, maka mereka musyrik syirik besar, keluar dari agama Islam. Tidak boleh ber-wala kepada mereka sebagaimana tidak boleh ber-wala kepada orang kafir.

Tidak sah shalat di belakang mereka dan tidak boleh bergaul dengan mereka ataupun tinggal di tengah-tengah mereka, kecuali bagi orang yang ingin mengajak mereka kepada kebenaran di atas petunjuk dan ada harapan mereka akan menerima ajakan serta dia dapat memperbaiki keadaan agama mereka. Jika tidak bisa, wajib baginya hijrah dari mereka dan mencari jama’ah lain yang mau bersama-sama bahu membahu membangun pondasi Islam dan cabang-cabangnya, serta menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika dia tidak mendapatkan jamaah seperti itu, maka hendaknya dia berlepas diri dari jamaah-jamaah yang ada walaupun terasa berat.

Hal ini berdasarkan hadits yang shahih dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.

كَانَ النّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْخَيْرِ. وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشّرِّ. مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِِ إنّا كُنّا فِي جَاهِلِيّةٍ وَشَرٍّ. فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ. فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: “نَعَمْ” فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: “نَعَمْ. وَفِيهِ دَخَنٌ” قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: “قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِغَيْرِ سُنَّتِي، وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي. تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ”. فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: “نَعَمْ. دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ. مَنْ أَجَابَهُمْ إلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا”. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا. قَالَ: “نَعَمْ. قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا. وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا” قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ فَمَا تَرَى إنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: “تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإمَامَهُمْ” فَقُلْتُ: فَإنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ؟ قَالَ: “فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا. وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ، حَتّىَ يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ، وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ”

Orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir terjerumus ke dalamnya. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami dahulu berada dalam kejahilan dan kejelekan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini (yaitu Islam). Apakah sesudah kebaikan in ada kejelekan ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya’. Aku bertanya lagi, ‘Apakah sesudah kejelekan itu ada kebaikan ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, tetapi padanya ada dakhan [1]’. ‘Apa dakhan-nya ?’ tanyaku. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Suatu kaum yang bersunnah bukan dengan sunnahku dan mengambil petunjuk bukan dari petunjukku. Kalian mengetahui siapa mereka dan kalian ingkari’. Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan lagi?’. ‘Ya, para dai yang menyeru di atas pintu-pintu Jahannam. Siapa saja yang mengikuti mereka, akan mereka jebloskan ke dalamnya’. Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, gambarkan keadaan mereka kepada kami’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Mereka dari bangsa kita dan berbicara dengan bahasa kita’. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan jika kami mendapati mereka ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Tetaplah bersama jama’ah kaum muslimin dan imam mereka’. Aku bertanya, ‘Jika mereka tidak memiliki jama’ah dan juga imam?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tinggalkan jamaah itu semuanya, sekalipun engkau harus menggigit akar pohon, sampai kematian datang kepadamu sedang dalam keadaan seperti itu”. [Hadits Riwayat Bukhari VIII/92, Muslim Syarah Nawawi XII/236, Abu Dawud IV/445, 447]

Semoga shalawat tercurah kepada Nabi, keluarganya dan sahabat-sahabatnya.

[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah 1/102-103, Fatwa no. 2787 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 3/I/Dzulqa’dah 1423H Hal. 8]
_____
Footnote
[1]. Kabut/asap. Maksud beliau bahwa kebaikan (Islam) di saat itu tidak lagi murni, melainkan sudah bercampur dengan kerusakan/kejelakan, -pent


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/681-bermakmum-di-belakang-pelaku-kesyirikan.html